TEMPO.CO, Jakarta – Dosen akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wuri Handayani, menilai pemerintah Indonesia seharusnya meninggalkan konsep sekolah luar biasa (SLB) yang memisahkan siswa penyandang disabilitas dengan non-disabilitas. Sebab, menurut Wuri, pendidikan yang inklusif seharusnya menunjang agar para siswa bisa belajar di lingkungan yang sama.
“Justru seharusnya mulai dari SD sampai SMA tidak ada lagi sekolah luar biasa yang memisahkan (disabilitas dengan non-disabilitas), seharusnya semua sekolah itu inklusif,” kata Wuri ketika ditemui wartawan dalam acara ‘Breaking Barriers’ yang diadakan British Council di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, pada Kamis, 5 Desember 2024.
Wuri tidak menampik bila siswa penyandang disabilitas memiliki kebutuhan khusus yang mungkin tidak bisa terpenuhi di sekolah umum. Tapi, kata dia, sekolah yang inklusif seharusnya bisa mengakomodasi setiap kebutuhan siswanya, terlepas dari kondisi yang mereka miliki.
Dia pun mencontohkan pendidikan di Inggris yang tidak secara khusus menyediakan sekolah bagi penyandang disabilitas. “Jadi semua anak dengan kebutuhan apa pun sekolah di tempat yang sama,” ujar Wuri.
Wuri sendiri tengah berupaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif di tempatnya mengajar, dengan mengembangkan Unit Layanan Disabilitas. ULD, kata Wuri, bertujuan untuk memberikan layanan, pendampingan, dan fasilitas bagi mahasiswa dan civitas akademika penyandang disabilitas.
Dia pun menekankan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Namun, menurut dia, memfasilitasi mereka bukanlah hal yang rumit. Salah satu contohnya, ULD memiliki program ‘buddy system’ yang mendorong interaksi antara mahasiswa penyandang disabilitas dengan non-disabilitas.
“Contohnya kayak mahasiswa neurodiverse itu hanya ingin ditemani saja, jadi mereka datang ke cafe untuk belajar bersama,” kata Wuri.
Gagasan untuk mengembangkan ULD datang dari pengalaman pribadi Wuri ketika menempuh pendidikan di Inggris. Dia mendapati perlakuan bagi penyandang disabilitas di sana berbeda dengan yang dia alami di Indonesia.
“Justru mereka (universitas) responsif dengan memberikan list apa saja yang diperlukan untuk memperlancar studi saya, baik secara akademik maupun non-akademik,” ungkap dia.
Pada peringatan Hari Disabilitas International 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah telah mendorong penyelenggaraan pendidikan khusus baik yang dilaksanakan secara segregasi maupun secara inklusif.
“Saya mengimbau kita semua untuk bersama-sama membawa semangat inklusivitas mulai dari ruang pendidikan hingga ke dalam hubungan bermasyarakat,” kata Mu`ti pada Selasa, 3 Desember 2024, dikutip dari keterangan resmi.