PENDIDIKAN perubahan iklim di Indonesia telah menjadi fokus penting dalam upaya pemerintah untuk membekali generasi muda menghadapi tantangan krisis iklim. Panduan pendidikan perubahan iklim yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Agustus 2024 menunjukkan komitmen pemerintah mengintegrasikan tema perubahan iklim ke dalam kurikulum nasional.
Menurut panduan tersebut, guru berperan sebagai advokat perubahan iklim di sekolah. Ia tidak hanya bertanggung jawab mengedukasi, tapi juga menginspirasi siswa menjadi agen perubahan di bidang lingkungan. Karena itu, memahami bagaimana guru memandang pendidikan perubahan iklim sangatlah krusial untuk menerapkan pendidikan perubahan iklim.
Sebagai bagian dari disertasi saya, belum dipublikasikan, saya mewawancarai empat guru sekolah menengah atas di Indonesia secara daring pada September 2024. Hasilnya menunjukkan pemahaman guru perihal fenomena perubahan iklim secara ilmiah masih terbatas. Namun, dengan adanya pengalaman langsung yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim, mereka antusias dan termotivasi untuk mempelajari serta mengintegrasikan pendidikan perubahan iklim ke dalam mata pelajaran yang mereka ampu.
Pemahaman Berdasarkan Pengalaman
Pemahaman mendasar para guru tentang perubahan iklim berangkat dari identifikasi fenomena alam dan pengalaman pribadi mereka tentang dampak perubahan iklim. Misalnya, salah satu guru menjelaskan bahwa label sejuk bagi Kota Malang kini tidak lagi relevan.
Dina—bukan nama sebenarnya—guru geografi di sekolah swasta, menyatakan bahwa:
“Malang itu identik dengan kota yang dingin. Tetapi lama-kelamaan pakai kipas angin saja, anginnya itu tidak terasa sejuk.”
Ketika saya bertanya mengenai penyebab perubahan iklim, sebagian besar guru mengaitkannya dengan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan penggunaan plastik. Namun pemahaman mereka tentang penyebab langsung, seperti emisi gas rumah kaca, masih terbatas. Hanya satu guru yang secara spesifik menyebutkan konsep ini.
Sebagian besar guru menyepakati bahwa perubahan iklim merupakan hasil aktivitas manusia, bukan fenomena alam semata. Alya—bukan nama sebenarnya—guru fisika di sekolah negeri, menyatakan, “Saya melihat bahwa kerusakan alam ini lebih banyak akibat manusia, bukan sesuatu yang orang bilang kejadian alamiah. Saya melihat itu bentuk kecerobohan manusia.”
Para guru memperoleh informasi tentang perubahan iklim terutama dari Internet dan media sosial. Sebagian kecil dari mereka juga belajar melalui buku pelajaran dan jurnal ilmiah. Namun diskusi tentang isu ini jarang terjadi dalam keluarga atau komunitas mereka. Percakapan yang ada seringnya bersifat ringan, seperti membahas cuaca panas atau sekadar teori tanpa solusi konkret.
Dina juga menambahkan bahwa upaya pemerintah, seperti penyediaan air minum isi ulang gratis di beberapa stasiun kereta, menunjukkan kesadaran yang mulai tumbuh di masyarakat. Ia menyebutkan:
“Menurut saya, itu harapan. Artinya, orang peduli. Dari institusi pemerintahan juga siap mendukung untuk memperbaiki situasi ini.”
Namun ada juga guru yang pesimistis. Caca—bukan nama sebenarnya—guru bahasa Inggris di sekolah swasta, mengatakan kesadaran masyarakat sekitar masih sangat rendah. Walhasil, masyarakat tidak mengambil tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim.
Sementara itu, Budi—bukan nama sebenarnya—guru agama Katolik di sekolah negeri, menyebutkan adanya konflik kepentingan, seperti kebutuhan akan plastik yang sangat sulit dihilangkan meskipun berdampak buruk bagi lingkungan.
Ilustrasi pembelajaran soal lingkungan di sekolah. Shutterstock
Praktik Pendidikan Perubahan Iklim
Terlepas dari pemahaman mereka, para guru sepakat bahwa memperkenalkan siswa kepada perubahan iklim adalah langkah penting untuk meningkatkan kesadaran iklim generasi muda. Mereka percaya pendidikan perubahan iklim dapat membangun fondasi pengetahuan, pedoman hidup, dan inspirasi yang akan mempengaruhi pola pikir siswa di masa depan.
Dina secara khusus menekankan pentingnya menanamkan karakter cinta lingkungan sejak dini, misalnya melalui kebiasaan menghemat energi, membuang sampah pada tempatnya, dan tidak membeli barang yang tak diperlukan.
Dalam praktiknya, Alya mengajarkan tentang pemanasan global sebagai bagian dari kurikulum fisika ketika Kurikulum 2013 masih berlaku. Lalu, saat berubah ke Kurikulum Merdeka, ia mengaitkannya dengan energi terbarukan melalui diskusi tentang pentingnya penggunaan energi yang lebih ramah iklim.
Sementara itu, Dina mengajarkan perubahan iklim dalam konteks geografi, khususnya tema atmosfer. Ia juga mengadopsi pendekatan dialog dengan siswa. Pada awal semester, Dina meminta para siswa menuliskan satu komitmen perilaku cinta lingkungan yang akan mereka lakukan selama satu semester. Pada akhir semester, siswa diminta melaporkan progres komitmen tersebut sebagai bagian dari pembelajaran.
Budi dan Caca belum secara eksplisit mengajarkan perubahan iklim, tapi mereka telah mencoba memasukkan tema lingkungan ke pembelajaran. Budi memasukkan topik moral dan tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan ke pelajaran agama Katolik. Ia mengajak siswa memahami pentingnya mengelola bumi dengan bijak dan bertanggung jawab serta mengembangkan sendiri materi ajar untuk memperkaya kurikulum yang ada.
Adapun Caca meminta siswa membaca teks-teks tentang lingkungan dalam bahasa Inggris, memahami isinya, dan mendiskusikan opini mereka di kelas. Ia juga menerapkan pembelajaran berbasis proyek untuk memberikan pengalaman langsung kepada siswa.
Tantangan yang Dihadapi Guru
Meskipun bersemangat dalam meningkatkan kesadaran siswa terhadap isu perubahan iklim, para guru tetap menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan guru tentang perubahan iklim.
Beberapa guru merasa kesulitan menghubungkan topik perubahan iklim dengan mata pelajaran mereka. Alya dan Dina dapat dengan mudah mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam pelajaran fisika dan geografi. Namun Budi dan Caca harus mencari cara yang lebih kreatif untuk memasukkan topik ini ke pelajaran agama Katolik dan bahasa Inggris.
Minimnya kolaborasi antarmata pelajaran juga menjadi tantangan signifikan. Para guru menyadari bahwa isu perubahan iklim adalah topik multidisipliner yang memerlukan pendekatan lintas mata pelajaran. Namun upaya kolaboratif untuk menciptakan integrasi antarmata pelajaran masih jarang dilakukan di tengah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Kurangnya kolaborasi terjadi karena waktu kolaborasi yang sempit, identitas guru sebagai spesialis di bidangnya, dan struktur pendidikan yang tidak mendukung pendekatan inderdisipliner antarmata pelajaran.
“Proyek itu kan harus dibuatkan modul antarmata pelajaran dulu. Nah, ini yang agak kesulitan kan harus berkumpul membuat modul. Sementara kan semua pasti ada jam mengajar. Cari waktu untuk berkumpul itu yang sulit. Mungkin kalau bisa, ya, pas menunggu jenjang liburan.” (Budi, guru agama Katolik)
Di sisi lain, relevansi personal menjadi tantangan dalam menjangkau generasi muda. Guru merasa bahwa, meskipun siswa memahami pentingnya menjaga lingkungan, mereka kerap kesulitan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Sejumlah murid SD Gagas Ceria mengambil sampah plastik di saluran air saat Hari Lingkungan Hidup, di Bandung, Jawa Barat, 5 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Komitmen Guru: Aset Awal yang Berharga
Guna mendukung antusiasme guru meningkatkan efektivitas pengajaran mereka, pemerintah dapat melakukan beberapa hal.
Pertama, pemerintah bisa lebih proaktif menyediakan pelatihan yang dirancang khusus untuk membekali guru dengan pemahaman tentang perubahan iklim yang mendalam, termasuk strategi pedagogis yang relevan untuk berbagai mata pelajaran.
Kedua, pemerintah memerlukan upaya penjangkauan panduan pendidikan perubahan iklim yang lebih proaktif sehingga lebih banyak guru yang mengetahui dan mempelajarinya.
Selain itu, sekolah dapat mendorong pendekatan interdisipliner melalui program kerja sama antarguru lintas mata pelajaran.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, kelompok belajar, seperti Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran sudah ada, tapi sering terbatas pada disiplin ilmu yang sama. Kita membutuhkan sistem khusus yang memberikan ruang bagi guru dari berbagai disiplin untuk berdiskusi dan mendesain proyek interdisipliner yang aplikatif.
Di Finlandia, contohnya, terdapat phenomena-based learning yang bertujuan mempersiapkan siswa menghadapi masalah dunia nyata melalui pendekatan cross-disciplinary dan penggunaan studi kasus, praktik terbaik, serta contoh kegagalan.
Sementara itu, di Jepang, terdapat sogotekina gakushuu no jikan atau waktu pembelajaran terintegrasi yang memberi siswa kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu dalam mengatasi suatu masalah.
Isu perubahan iklim tidak dapat dipahami atau dipecahkan hanya melalui pendekatan satu disiplin ilmu. Dengan melibatkan berbagai mata pelajaran, guru dapat memberikan ruang bagi siswa untuk melihat isu ini secara holistik sekaligus mengembangkan proyek berbasis pengalaman nyata. Harapannya, relevansi personal siswa terhadap isu perubahan iklim makin meningkat.